Soko Lokal

Pertama Kali Menginjak Aceh, Tak Menyangka Pasar Al-Mahirah Lamdingin Bisa Sehangat Ini -1

Perjalanan pertama Bandung ke Aceh, singgah di Ayam Pramugari, lalu menjelajah Pasar Al Mahirah Lamdingin penuh aroma rempah, kuliner khas, dan keramahan warga.

By Cikal Sundana  | Sokoguru.Id
13 Agustus 2025
<p>Kolase foto perjalanan, Bandung, Jakarta, Aceh. Temukan pesona Pasar Al Mahirah Lamdingin di Aceh—dari kopi bubuk segar, kue tradisional, hingga cerita hangat para pedagang yang membuat Anda betah berlama-lama.</p>

Kolase foto perjalanan, Bandung, Jakarta, Aceh. Temukan pesona Pasar Al Mahirah Lamdingin di Aceh—dari kopi bubuk segar, kue tradisional, hingga cerita hangat para pedagang yang membuat Anda betah berlama-lama.

SUBUH di Bandung selalu punya udara dingin yang menggigit, apalagi saat jarum jam baru menunjuk pukul empat pagi. 

Jalanan masih lengang, lampu-lampu kota seperti masih mengantuk. Di tengah keheningan itu, rombongan kecil kami memulai perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta. 

Koper dan tas-tas sudah terkemas rapi, dan secangkir teh celup menjadi penghangat sebelum benar-benar terjun ke udara pagi yang sejuk.

Perjalanan darat menuju bandara terasa mulus. Cahaya matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, hanya semburat jingga tipis di ufuk timur. 

Di sepanjang tol, kendaraan yang lewat bisa dihitung jari. Perjalanan seperti ini selalu memberi ruang untuk merenung—tentang jarak, tentang waktu, dan tentang cerita yang akan kita temui di ujung perjalanan.

Pukul 07.30, kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Meski jadwal penerbangan tertera pukul 08.45, papan informasi di area check-in memberi kabar lain: delay satu jam. 

Tidak ada yang terlalu kaget. Dalam dunia penerbangan, waktu kadang punya aturan sendiri. 

 

Sambil menunggu, kami mencari sarapan ringan di salah satu kafe bandara, berbincang tentang rencana di Aceh nanti.

Ketika panggilan boarding akhirnya terdengar, rasanya seperti tanda dimulainya babak baru. 

Langkah-langkah tergesa memenuhi lorong menuju pesawat. Langit Jakarta pagi itu cukup bersahabat. 

Di dalam kabin, aroma khas pendingin udara bercampur dengan wangi kopi yang disajikan pramugari. 

Semua penumpang duduk, sabuk pengaman terpasang, dan mesin mulai meraung.

Penerbangan ke Aceh adalah perjalanan lintas waktu. Dari udara, pulau-pulau kecil di bawah terlihat seperti titik-titik hijau di lautan biru. 

Awan tebal sesekali menutupi pandangan, lalu berganti dengan hamparan laut yang tenang. 

Selama di udara, rasa kantuk bergantian dengan rasa penasaran—seperti apa wajah Aceh yang akan kami temui nanti? Terlebih perjalan ke Aceh adalah yang pertama bagiku.

Pesawat akhirnya mendarat mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda. Begitu keluar dari kabin, udara hangat langsung menyambut. 

Ada aroma laut yang samar-samar, bercampur dengan wangi bumbu masakan khas Aceh yang seolah mengundang dari kejauhan. Perut yang sejak tadi hanya diisi kudapan bandara mulai protes.

Tidak butuh waktu lama, mobil yang menjemput kami langsung membawa ke sebuah rumah makan terkenal: Ayam Pramugari. 

Letaknya tak jauh dari bandara, dan namanya sudah cukup populer di kalangan pelancong. 

Sepiring nasi, ayam goreng berbumbu khas, sambal pedas segar, dan segelas es teh manis menjadi pertemuan pertama kami dengan cita rasa Aceh.

Setelah makan siang yang memuaskan, perjalanan berlanjut menuju Lamdingin. 

Jalanan menuju pusat pasar Humaira diwarnai nuansa penasaran. Bagaimana Aceh saat terjadi bencana besar 2004 lalu. 

Rasa itu mulai terobati dengan beberapa dengan ukiran kayu yang indah di terasnya. 

Sesekali kami melewati masjid dengan kubah berwarna cerah yang berdiri megah di tengah kampung.

Pasar Al Mahirah Lamdingin bukan sekadar pasar biasa. Begitu memasuki area, deretan kios dengan kondisi khas pasar langsung menyapa mata. 

Di sana, aroma rempah begitu kuat, bercampur bau ikan hasil tangkapan nelayan setempat. 

Suara tawar-menawar terdengar riuh, menjadi musik latar khas kehidupan di pasar.

Di salah satu sudut, kami menemukan penjual kopi bubuk khas Aceh yang menggiling bijinya langsung di tempat. 

Aroma yang menyeruak sungguh memikat. Ada juga penjual kue tradisional seperti timphan dan kue bhoi, manisnya legit, membuat siapa pun sulit menolak. 

Wajah-wajah ramah para pedagang menjadi pemandangan yang menghangatkan hati.

Al Mahirah Lamdingin ternyata bukan hanya pasar untuk belanja bahan pangan. 

Tempat itu juga juga menjadi titik temu warga, tempat cerita-cerita kecil dibagi sambil menyeruput kopi. 

Dari pedagang ikan yang bercerita soal cuaca laut, hingga ibu-ibu yang saling berbagi resep, semua membentuk potret kehidupan yang hangat dan penuh warna.

Menjelang sore, cahaya matahari mulai condong ke barat, memberi warna keemasan pada pasar. 

Kami meninggalkan Almahirah Lamdingin dengan beberapa kantong berisi oleh-oleh—kopi, rempah, dan kue tradisional. 

Tapi lebih dari itu, kami pulang dengan rasa bahwa setiap perjalanan bukan hanya soal tempat yang dituju, tapi juga tentang cerita-cerita yang melekat di setiap langkahnya. (Bersambung)